Kamis, 10 Mei 2012

Unforgetable Sight Of MOS


Senin, 17 Juli 2012.
“Pa, cepetan pa. Lala udah telat nih”, aku merengek sambil menggoyang-goyang kan lengan papa yang sedang menyetir.
“Lala, papa sedang menyetir. Jangan merengek lagi, udah SMA kok juga masih juga begitu”, ujar papa dengan nada tegas. Aku tau yang telat bukan hanya aku, tapi papa juga. Ini semua memang salahku, tidak meletakkan kunci mobil pada tempatnya. Sehingga hampir 20 menit, semua orang dirumah sibuk mencari kunci mobil. Aku pun diam setelah memanyunkan bibir. Aku memilih untuk berpikir, apa yang aku lakukan jika aku sampai di sekolah. Dimana, semua mata akan tertuju padaku. Terus, yang paling ku takuti mata para senior! Apa yang akan mereka lakukan kepada ku, jika aku datang disaat semua temanku sedang dikerjai? Huh, aku benar-benar membenci hari MOS! Kemudian aku tersentak saat papa memberhentikan mobil tiba-tiba.
“Kenapa pa? Mobilnya mogok? Atau ban mobil bocor?”, tanyaku sambil berharap papa berkata “Iya”. Namun, papa berkata lain. “Bukan, Bukan, mobilnya baik-baik aja. Papa memberhentikan mobil karena sekarang kita sudah tiba di depan sekolahmu”, kata-kata papa membuatku membelakkan mataku. Rasanya aku ingin menyuruh papa mengantarku kembali ke rumah. Tapi aku merasa seperti seorang pecundang jika aku sampai melakukan itu.
“Wah, udah sampai. Cepet juga ya pa, kalau gitu Lala pergi dulu ya pa. Daaaah”, aku pun segera menuju ke gerbang sekolah setelah menyalami papa. Aku berlari-lari sekencang-kencangnya menuju gerbang sekolah barunya, SMA Kartika Bangsa. Rambutku yang dikucir dua oleh mama bergoyang-goyang mengikuti langkah kakiku. Hari ini merupakan hari pertama aku bersekolah di SMA! Dan acara MOS dimulai hari ini! lapangan sekolah sudah dipenuhi ratusan murid kelas VII yang baru saja tamat dari berbagai SMP, mereka semua sedang duduk dengan berbagai macam posisi seperti yang diperintahkan para senior. Jantungku sudah hampir copot. Keringatku menetes melewati pipiku, takut ketahuan aku pun langsung berlari bersembunyi di balik pohon palem yang paling dekat denganku. Aku yang  sedang bersembunyi bingung harus melakukan apa. Akhirnya tanpa menunggu-nunggu lagi, aku segera keluar dari persembunyian dan berlari kecil menuju lapangan. Tepat seperti dugaanku semua menatap ke arah ku! Dengan berbagai macam pandangan. Aku pura-pura tak melihat siapapun, aku pun duduk dibelakang salah seorang temanku di SMP dulu. Namanya Mita, dia sedang berjongkok memegangi kuping. Mita memandangku cemas, seharusnya ia harus mencemaskan dirinya sendiri. Kemudian salah seorang seniorku yang mirip dengan Velove Vexia, hanya saja seniorku yang cantik itu memilih wajah yang judes. dia datang menghampiriku, tangan kirinya membawa sekantong besar yang aku pun tak tahu apa isinya. Sementara tangan kanannya membawa sebuah map, menurut ku itu adalah sebuah absen. Setiap ia melangkahkan kakinya aku berharap dia akan terjatuh atau terpeleset agar semua orang mengerumuninya, dan aku akan segera kabur dari lapangan ini. Namun, harapan ku tidak terjadi. Kini jarak kami hanya selangkah, kami saling bertatapan ia menatapku dengan pandangan menantang. Sementara aku memandangnya dengan tatapan yang mengatakan “Jangan apa-apakan aku kak, Please”. Tapi ia tak bisa membaca perkataanku, itu terlihat saat ia menyuruh ku berdiri. Sebelum ia bertindak lebih jauh, aku pun langsung berdiri tepat dihapannya. Ia pun membuka absen yang dibawanya, mencari sebuah nama. Dan itu namaku!

“Jadi kamu yang bernama Marina Akila?”, tanyanya dengan alis mata yang dinaikkan sebelah.
“I..Ia kak”, jawabku sambil menunduk. Kemudian tangannya memegang sebelah kucir rambutku, dan kemudian mengelilingiku. Aku merasa ia sedang memperhatikan penampilan ku.“Kau kira ini Taman Kanak-Kanak Akila?”, sindirannya membuatku kesal. Hanya orang terdekatku yang boleh mengatakan aku seperti anak-anak. Aku menggelengkan kepala ku. Aku malas menjawab sindirannya yang memuakkan. Tiba-tiba seseorang menarik tas Lala Teletubbies kesayanganku.
“Hei, apa-apaan ini. Jangan sentuh tas Lala”, aku menarik kembali tas ku, bukannya berhasil melepaskan tas ku dari seseorang dibelakangku. Tapi seorang itu, ia memegang lengan kananku. Seorang cowok yang tingginy sekitar 178, berkulit putih, mirip seorang aktor favorit ku, Vino G Bastian.
Aku memandangnya bingung, padahal seharusnya aku marah karna ada yang menarik tak kesayanganku.
 “Heh, anak kecil. Daripada lu diomelin ama temen gue, mending sekarang lu anterin gitar gua diatas meja gua di kelas XI-B. Oke?”, ia memberiku sebuah gitar, tanpa menolak aku mengambil gitar itu. Karena kata-katanya ada benernya juga. Dia tersenyum kemudian tangannya mengacak rambutku, setelah itu ia meninggalkanku dan mengajak berbicara dengan senior cantik yang judes tadi. Sebelum pergi mencari dimana kelas XI-B aku mencoba untuk melihat sosok kakak kelas yang sempat membuatku terpaku menatapnya. Dan saat aku melihatnya, ia melihatku sambil mengedipkan sebelah matanya dan menunjukkan jempol jari kanannya. Dengan cepat aku segera berbalik,dan menjauh dari lapangan. Aku pun menyusuri kelas 2 yang terletak 10 meter dari lapangan. Untung saja saat mendaftar masuk aku sudah melihat-lihat seluruh kelas yang ada disini, jadi aku tak begitu susah untuk menemukannya. Kini aku berada di depan kelas XI-B, kelas itu kosong. Sambil celingak-celinguk aku mencari seseorang untuk mencari tau dimana meja kakak kelas yang cakep tadi. “Heh, anak kecil. Ngapain berdiri didepan pintu?”, kakak cakep itu bersandar di depan pintu. “Bukan gitu kak, tadi kelasnya tuh kosong. Lala ga berani masuk gitu aja”, jawabku tanpa melihatnya. “Yaudah, bawa kemari gitarnya”, ia menjulurkan tangannya, aku pun memberikan gitarnya dengan berat hati. Maunya gitar itu diberikan untuk untuk jadi kenangan, walau aku tak pandai bermain gitar. Saat kakak cakep ingin berbalik masuk ke kelasnya.
“Nama kakak siapa?”, tanyaku yang membuat langkahnya terhenti.
“Davi Octario, nama anak kecil siapa?”, tanyanya kembali.
“Marina Akila”, jawabku pasti sambil tersenyum lebar.
 “Nama yang manis. Tapi gua enak manggil lu anak kecil”, jawabnya sambil tersenyum, dan senyuman nya membuatku ikut tersenyum juga. “Anak kecil? Ngapain senyum-senyum?”, tanya kakak cakep kepadaku. Aku hanya menggeleng-geleng dan kemudian pergi berlari menuju lapangan. Di sepanjang jalan, bayangan kakak cakep yang tenyata bernama Davi Octario itu melayang-layang di kepalaku. Aku tak pernah seperti ini, aku bingung dengan perasaanku. Mengapa aku tak marah dengan kakak cakep yang memanggil ku dengan panggilan “Anak Kecil”, seharusnya aku kesal kan? Atau marah?. Apa ini yang disebut perasaan cinta? Wah, wajahku memerah mengatakan hal itu. Kalau benar ini yang disebut cinta, berarti kakak cakep cinta pertamaku?, saat ini pikiran ku bercampur aduk, masa-masa MOS sudah tak terpikirkan lagi. Sangking bingungnya, aku sampai tersandung batu. Untung aku tidak sampai  terjatuh.
 Sudah seminggu aku bersekolah, aku sering bertemu kakak cakep di kantin. Sedang duduk memainkan gitar ditemani sekaleng TEBS. Terkadang aku suka curi-curi pandang ke arah kakak cakep. Tapi suatu hari aku ketauan sedang melihat kakak cakep, dan mengetahui itu teman dekatnya kakak cakep. “Rio, akhir-akhir ini gue perhatiin lu sering diliatin ama someone”, kata temannya itu.
“Someone? Siapa?”, tanya Rio menghentikan permainan gitarnya.
“Itu tuh, anak kelas satu yang kayak anak kecil”, jawab temannya tersenyum mengganggu Rio. “Oh, anak kecil? Bukan dia yang ngeliatin gua, tapi gua yang sering ngeliatin dia”, jawab Rio berbisik pada temannya.
“Apa? Gua gak salah denger?”, tanya temannya dengan suara meninggi.
“Sssstttttt”, Rio menutup mulut temannya dan membawa temannya pergi dari kantin. Aku terdiam, jantung ku berdegup kencang. Semenjak itu aku jadi malu untuk ke kantin, sejak saat itu aku sering memerhatikan penampilanku. Bahkan aku pernah meminta saran Mita, yang merupakan salah satu primadona di SMP dulu. Bahkan, sekarang ia sudah memiliki pacar. Teman sekelas kakak cakep. Mita hanya tersenyum begitu aku meminta tolong padanya, dan pulang sekolah kami pergi berbelanja. Membeli beberapa baju, tas baru, dan yang terakhir ke salon. Setelah 30 menit, aku melihat hasil make over yang dilakukan oleh pegawai salon. Aku terdiam melihat ke arah kaca, siapakah Lala yang ada dihadapanku? Lala yang benar-benar manis, simple, dan bertambah dewasa. “Thanks banget ya Mita, i love u”, kata ku memeluknya. “Sssssttt..itu kata-kata buat Rio”, katanya yang mebuat wajahku memerah.
Keesokan harinya, aku pergi agak cepat karena bertugas piket.
“Heh, adik kecil”, panggil kakak cakep di depan pintu kelas. Aku menjadi nervous, apalagi dengan penampilan ku yang baru ini.
“Eh, kak Rio”,  jawabku gugup.
“Gua hampir aja salah orang, gua pikir lu bukan si anak kecil. Soalnya, kucir kuda lu udah ngilang”, katanya yang duduk di atas meja Mita, yang terletak di sebelah mejaku. Aku tertawa kecil,
“Lala, kepingin ganti gaya rambut kak”, jawabku tersenyum.
“Anak kecil, gua mau ngomong”, kata kakak cakep sambil menatap papan tulis.
“Dari tadi kan kakak udah ngomong”, balasku yang bingung dengan perkataan kakak cakep.
“Anak kecil gua  suka sama lu”, ujarnya tanpa melihat ke arahku. Aku terkejut tidak percaya, mendadak suasana hening. Kemudian kakak cakep meneruskan kalimatnya.
“Menurut lu gimana?”, tanyanya kali ini ia menatapku. Aku tak mampu berkata, aku segera memeluk kakak cakep.
“Lala juga suka sama kakak cakep, sejak pertama Lala ketemu kakak”, jawabku sambil tersenyum.
“Kakak cakep?”, ulangnya dengan wajah bingung. Aku mengangguk pasti.
“Dasar anak kecil, sukanya sama yang cakep aja”, dengus nya kesal. Kami pun tertawa bersamaan.

Ni cerpen sebenernya ak ikutin lomba, di sahabat kata.
Tapi ak cerpen ku ga masuk nominasi pemenang,
belum rejeki kali ya :D

Mending ak tulis di blog ini aja.

MY OWRLD

0 komentar:

Posting Komentar