“Kakak,
cepetaaann. Udah mau azan zuhur Kak”, panggil Anggi, adik perempuanku dengan
setengah berteriak. Aku mempercepat langkahku agar menyamai langkahnya.
Biasanya aku dan Anggi pulang bersepeda, tapi hari ini sepeda kami dipakai
bapak untuk berjualan sayur. Dengan berlari-lari kecil, akhirnya aku berhasil
menyamai langkahnya. Ku lihat wajahnya begitu kusut, “Anggi kenapa? Capek ya?
Yaudah sini kakak gendong”, kataku seraya mengangkat tubuhnya yang mungil.
Anggi mengelak “Bukan kak, tapi..”, ia menghentikan langkahnya dan terdiam
sejenak. “Allahuakbar..Allahuakbar”, Saat ia hendak berbicara terdengar suara
azan berkumandang. Kami pun segera berlari pulang ke rumah agar tidak ketinggalan
shalat berjamaah.
“Ibu,
Bapak, seminggu lagi kan Anggi ulang tahun. Anggi boleh nggak minta sesuatu”,
kata Anggi selesai shalat berjamaah. Orang tuaku tersenyum kecil, tampak raut
khawatir di dalamnya. “Anggi mau minta apa sayang?”, tanya Ibuku sambil
membelai rambut panjangnya. “Sepatu baru Bu, sepatu yang warnanya merah muda. Sekarang
kan Anggi udah kelas 4”, jawab Anggi, lalu memandang sekilas sepatu lusuhnya di
rak sepatu. “Sepatu?”, tanya Bapakku lagi. Anggi mengangguk. Setelah itu aku
segera masuk ke dalam kamarku, Aku duduk
di atas ranjang buluk yang tebalnya sekitar 5cm. “Kakaaaaaaak..”, Anggi masuk
tiba-tiba memelukku. Ia menangis, “Ibu dan Bapak bilang, Anggi dibeliin sepatu
kalau udah masuk SMP kak. Kakak tau kan sepatu Anggi udah jelek terus rusak
lagi. Anggi mau sepatu baru kak, yang warnanya merah muda...”, ujar Anggi di
sela isak tangisnya. “Sssttt.. udah jangan nagis lagi. Anggi tidur aja ya,
nanti matanya bengkak loh?”, kataku membelai rambutnya. Dalam beberapa menit,
Anggi berhasil tidur dalam pangkuanku. Aku memandangnya dengan sedih, aku tahu orang
tuaku memang tak cukup mampu untuk membeli sepatu baru untuk Anggi. Apalagi
akhir-akhir ini, jualan sayur Bapak sedang menurun. Aku memutar otakku, apa
yang bisa seorang anak SMA lakukan agar bisa membelikan adiknya sepatu baru.
Keesokan harinya,
aku menceritakan semuanya pada Deva sahabat karibku. Deva mendengar cerita ku
dengan seksama.“Bagaimana kalau kita cari kerja sambilan?”, Kata Deva kemudian,
begitu aku menyudahi ceritaku. “Kerja apaan Dev?”, tanyaku lagi, karena yang
aku tahu mencari pekerjaan itu tidaklah mudah. “Kamu itu punya banyak bakat,
kamu bisa bermain musik, kamu bisa
mendaur ulang bahan-bahan bekas menjadi kerajinan tangan yang indah, terus kamu
juga bisa nulis kan?”, Deva menghentikan kalimatnya dan memandang ke arahku.
Setelah aku mengangguk, ia menyambung kembali kalimatnya “Nah, itu dia. Semua
bakat itu bisa digunakan untuk bekerja sambilan. Misalnya besok sampe Kamis
kamu jual hasil daur ulang, Jum’at kan diadain lomba nulis puisi tuh, kamu ikut
aja. Terus hari sabtu kita liat pengumuman lomba nulis puisi, minggu pagi kita pergi
ke pantai katanya ada acara pertunjukkan bakat musik. Kamu yang nyanyi biar aku
yang mainin gitar, kemudian hari sabtunya kita pergi ke pasar nyari sepatu buat
Anggi dari hasil kerjamu selama seminggu itu. Gimana?”, jelas Deva panjang
lebar. Namun ku akui, ia begitu hebat dalam beberapa menit ia telah membuat
jadwal untukku selama seminggu. “Dev, kamu memang sahabat terbaikku”, aku
memeluk Deva. Deva terkejut, namun ia membalas pelukanku. Deva, sahabat ku yang
satu ini jauh lebih mampu dibandingku, tapi disekolah ia begitu sederhana dan
sering membantu teman-temannya. Tak banyak yang tahu bahwa Deva adalah anak
seorang bupati. “Kamu juga sahabat terbaikku”, ia mencubit pipiku pelan.
Sepulang sekolah aku dan Deva segera mencari
barang-barang bekas di tong sampah anorganik didalam kelas, agar tak ketahuan
banyak orang. Begitu berhasil mendapatkan banyak barang seperti botol, kaleng
dan kotak, kami berjalan menuju pantai
yang letaknya tak jauh dari sekolah, disana kami mengumpulkan banyak kerang,
batu-batu pantai, pasir pantai, serta beberapa tanaman yang ada di pinggir
pantai.
“Dev, makasih banyak ya. Aku gak tau harus gimana, agar bisa ngebalas kebaikan
kamu”, kataku pada Deva begitu kami sampai dirumahnya yang mewah.
“Sssttt.. kamu ini apa-apaan sih. Kita itu sahabat, tolong menolong itu udah
jadi kewajiban. Lagian Anggi udah aku anggap kayak adik aku sendiri juga kok.
Put, mampir kerumah ku yuk”,ajak Deva.
“Kapan-kapan aja ya Dev, aku harus pulang. Aku kan belum izin sama Ibu dan
Bapak”, jawabku tersenyum.
“Hmm.. Yaudah deh. Hati-hati di jalan ya”, kata Deva setelah mencium pipi
kananku. Kemudian aku pun berlari menuju ke rumah. Ku letakkan semua barang-barang
itu didalam kamar. “Sore ini aku harus bisa menyelesaikan daur ulang barang”,
janjiku pada diri sendiri, begitu aku selesai makan siang. “Kak enggak tidur?”,
tanya Anggi dengan wajah yang begitu mengantuk. Aku menggeleng “Siang ini kakak
enggak tidur, Anggi tidur aja terus. Nanti sore kan harus pergi mengaji di surau”,
kataku mengelus bahunya. Ketika Anggi tertidur, aku pun segera menyelesaikan
janjiku. Aku membersihkan semua sampah botol,kaleng,dan kotak dan kemudian
menyulap semuanya menjadi tempat pensil yang lucu, tempat tissue yang cantik,
dan celengan yang unik. Aku berhasil membuat 8 celengan, 12 tempat pensil, dan
5 tempat tissue dengan berbagai corak dan warna. Aku menyimpan semua
barang-barang tersebut dalam sebuah kardus yang nantinya akan ku bawa ke
sekolah untuk dijual. Kemudian aku mendengar suara Ibu sedang berbicara dengan
tetangga. “Besok malam, saya akan kemari mengambil kuenya. Ini uang mukanya,
sisanya akan saya bayar besok malam. Terima kasih banyak Bu”, sepertinya itu
suara Ibu Laila, tetanggaku yang sering mengadakan arisan dirumahnya. Ibu ku duduk
di kursi goyang memegang uang dua puluh ribuan, aku tak tahu apa yang sedang
dipikirkannya. Aku berbaring disebelah Anggi, dalam sesaat tanpa ku sadari aku
terlelap sampai tiba waktu magrib. Matahari yang tadinya terang kini telah
tenggelam bahkan hampir tak kelihatan. Aku segera bernajak, keluar dari
kamarku. Ku lihat Ibu, Bapak, dan Anggi sedang melaksanakan shalat maghrib
berjamaah. Aku segera mengambil wudhu dan ikut shalat berjamaah. Seusai shalat
aku memandang ke arah langit, begitu banyaknya bintang di malam ini. Ku
bayangkan bintang-bintang itu membentuk wajah Anggi dengan sepatu barunya. Dengan
segera aku mengambil pena dan selembar kertas, menuliskan sebuah puisi.
Sepatu..
Dimanakah kan ku cari sepatu merah muda itu?
Sepatu merah muda yang diinginkan dirimu,
Memiliknya seakan menjadikan mu orang yang paling bahagia,
Sepatu
merah muda,
Sesuatu yang sangat berharga untuk mu,
Yang akan menjadi alas kaki mu,
Yang membuat mu bisa berlari tanpa takut kaki mu sakit,
Tanpa takut jahitan
sepatu mu kan terbuka,
Tunggulah
adikku sayang,
Kan tiba saatnya sepatu merah muda itu kan menjadi milikmu,
Kan selalu menemani setiap langkah mu,
Sabarlah duhai adikku,
Aku kan berusaha mendapatkan sepatu merah muda,
Untuk dirimu...