Sepasang sepatu merah muda
“Kakak,
cepetaaann. Udah mau azan zuhur Kak”, panggil Anggi, adik perempuanku dengan
setengah berteriak. Aku mempercepat langkahku agar menyamai langkahnya.
Biasanya aku dan Anggi pulang bersepeda, tapi hari ini sepeda kami dipakai
bapak untuk berjualan sayur. Dengan berlari-lari kecil, akhirnya aku berhasil
menyamai langkahnya. Ku lihat wajahnya begitu kusut, “Anggi kenapa? Capek ya?
Yaudah sini kakak gendong”, kataku seraya mengangkat tubuhnya yang mungil.
Anggi mengelak “Bukan kak, tapi..”, ia menghentikan langkahnya dan terdiam
sejenak. “Allahuakbar..Allahuakbar”, Saat ia hendak berbicara terdengar suara
azan berkumandang. Kami pun segera berlari pulang ke rumah agar tidak ketinggalan
shalat berjamaah.
“Ibu,
Bapak, seminggu lagi kan Anggi ulang tahun. Anggi boleh nggak minta sesuatu”,
kata Anggi selesai shalat berjamaah. Orang tuaku tersenyum kecil, tampak raut
khawatir di dalamnya. “Anggi mau minta apa sayang?”, tanya Ibuku sambil
membelai rambut panjangnya. “Sepatu baru Bu, sepatu yang warnanya merah muda. Sekarang
kan Anggi udah kelas 4”, jawab Anggi, lalu memandang sekilas sepatu lusuhnya di
rak sepatu. “Sepatu?”, tanya Bapakku lagi. Anggi mengangguk. Setelah itu aku
segera masuk ke dalam kamarku, Aku duduk
di atas ranjang buluk yang tebalnya sekitar 5cm. “Kakaaaaaaak..”, Anggi masuk
tiba-tiba memelukku. Ia menangis, “Ibu dan Bapak bilang, Anggi dibeliin sepatu
kalau udah masuk SMP kak. Kakak tau kan sepatu Anggi udah jelek terus rusak
lagi. Anggi mau sepatu baru kak, yang warnanya merah muda...”, ujar Anggi di
sela isak tangisnya. “Sssttt.. udah jangan nagis lagi. Anggi tidur aja ya,
nanti matanya bengkak loh?”, kataku membelai rambutnya. Dalam beberapa menit,
Anggi berhasil tidur dalam pangkuanku. Aku memandangnya dengan sedih, aku tahu orang
tuaku memang tak cukup mampu untuk membeli sepatu baru untuk Anggi. Apalagi
akhir-akhir ini, jualan sayur Bapak sedang menurun. Aku memutar otakku, apa
yang bisa seorang anak SMA lakukan agar bisa membelikan adiknya sepatu baru.
Keesokan harinya,
aku menceritakan semuanya pada Deva sahabat karibku. Deva mendengar cerita ku
dengan seksama.“Bagaimana kalau kita cari kerja sambilan?”, Kata Deva kemudian,
begitu aku menyudahi ceritaku. “Kerja apaan Dev?”, tanyaku lagi, karena yang
aku tahu mencari pekerjaan itu tidaklah mudah. “Kamu itu punya banyak bakat,
kamu bisa bermain musik, kamu bisa
mendaur ulang bahan-bahan bekas menjadi kerajinan tangan yang indah, terus kamu
juga bisa nulis kan?”, Deva menghentikan kalimatnya dan memandang ke arahku.
Setelah aku mengangguk, ia menyambung kembali kalimatnya “Nah, itu dia. Semua
bakat itu bisa digunakan untuk bekerja sambilan. Misalnya besok sampe Kamis
kamu jual hasil daur ulang, Jum’at kan diadain lomba nulis puisi tuh, kamu ikut
aja. Terus hari sabtu kita liat pengumuman lomba nulis puisi, minggu pagi kita pergi
ke pantai katanya ada acara pertunjukkan bakat musik. Kamu yang nyanyi biar aku
yang mainin gitar, kemudian hari sabtunya kita pergi ke pasar nyari sepatu buat
Anggi dari hasil kerjamu selama seminggu itu. Gimana?”, jelas Deva panjang
lebar. Namun ku akui, ia begitu hebat dalam beberapa menit ia telah membuat
jadwal untukku selama seminggu. “Dev, kamu memang sahabat terbaikku”, aku
memeluk Deva. Deva terkejut, namun ia membalas pelukanku. Deva, sahabat ku yang
satu ini jauh lebih mampu dibandingku, tapi disekolah ia begitu sederhana dan
sering membantu teman-temannya. Tak banyak yang tahu bahwa Deva adalah anak
seorang bupati. “Kamu juga sahabat terbaikku”, ia mencubit pipiku pelan.
Sepulang sekolah aku dan Deva segera mencari
barang-barang bekas di tong sampah anorganik didalam kelas, agar tak ketahuan
banyak orang. Begitu berhasil mendapatkan banyak barang seperti botol, kaleng
dan kotak, kami berjalan menuju pantai
yang letaknya tak jauh dari sekolah, disana kami mengumpulkan banyak kerang,
batu-batu pantai, pasir pantai, serta beberapa tanaman yang ada di pinggir
pantai.
“Dev, makasih banyak ya. Aku gak tau harus gimana, agar bisa ngebalas kebaikan
kamu”, kataku pada Deva begitu kami sampai dirumahnya yang mewah.
“Sssttt.. kamu ini apa-apaan sih. Kita itu sahabat, tolong menolong itu udah
jadi kewajiban. Lagian Anggi udah aku anggap kayak adik aku sendiri juga kok.
Put, mampir kerumah ku yuk”,ajak Deva.
“Kapan-kapan aja ya Dev, aku harus pulang. Aku kan belum izin sama Ibu dan
Bapak”, jawabku tersenyum.
“Hmm.. Yaudah deh. Hati-hati di jalan ya”, kata Deva setelah mencium pipi
kananku. Kemudian aku pun berlari menuju ke rumah. Ku letakkan semua barang-barang
itu didalam kamar. “Sore ini aku harus bisa menyelesaikan daur ulang barang”,
janjiku pada diri sendiri, begitu aku selesai makan siang. “Kak enggak tidur?”,
tanya Anggi dengan wajah yang begitu mengantuk. Aku menggeleng “Siang ini kakak
enggak tidur, Anggi tidur aja terus. Nanti sore kan harus pergi mengaji di surau”,
kataku mengelus bahunya. Ketika Anggi tertidur, aku pun segera menyelesaikan
janjiku. Aku membersihkan semua sampah botol,kaleng,dan kotak dan kemudian
menyulap semuanya menjadi tempat pensil yang lucu, tempat tissue yang cantik,
dan celengan yang unik. Aku berhasil membuat 8 celengan, 12 tempat pensil, dan
5 tempat tissue dengan berbagai corak dan warna. Aku menyimpan semua
barang-barang tersebut dalam sebuah kardus yang nantinya akan ku bawa ke
sekolah untuk dijual. Kemudian aku mendengar suara Ibu sedang berbicara dengan
tetangga. “Besok malam, saya akan kemari mengambil kuenya. Ini uang mukanya,
sisanya akan saya bayar besok malam. Terima kasih banyak Bu”, sepertinya itu
suara Ibu Laila, tetanggaku yang sering mengadakan arisan dirumahnya. Ibu ku duduk
di kursi goyang memegang uang dua puluh ribuan, aku tak tahu apa yang sedang
dipikirkannya. Aku berbaring disebelah Anggi, dalam sesaat tanpa ku sadari aku
terlelap sampai tiba waktu magrib. Matahari yang tadinya terang kini telah
tenggelam bahkan hampir tak kelihatan. Aku segera bernajak, keluar dari
kamarku. Ku lihat Ibu, Bapak, dan Anggi sedang melaksanakan shalat maghrib
berjamaah. Aku segera mengambil wudhu dan ikut shalat berjamaah. Seusai shalat
aku memandang ke arah langit, begitu banyaknya bintang di malam ini. Ku
bayangkan bintang-bintang itu membentuk wajah Anggi dengan sepatu barunya. Dengan
segera aku mengambil pena dan selembar kertas, menuliskan sebuah puisi.
Sepatu..
Dimanakah kan ku cari sepatu merah muda itu?
Sepatu merah muda yang diinginkan dirimu,
Memiliknya seakan menjadikan mu orang yang paling bahagia,
Dimanakah kan ku cari sepatu merah muda itu?
Sepatu merah muda yang diinginkan dirimu,
Memiliknya seakan menjadikan mu orang yang paling bahagia,
Sepatu
merah muda,
Sesuatu yang sangat berharga untuk mu,
Yang akan menjadi alas kaki mu,
Yang membuat mu bisa berlari tanpa takut kaki mu sakit,
Tanpa takut jahitan sepatu mu kan terbuka,
Sesuatu yang sangat berharga untuk mu,
Yang akan menjadi alas kaki mu,
Yang membuat mu bisa berlari tanpa takut kaki mu sakit,
Tanpa takut jahitan sepatu mu kan terbuka,
Tunggulah
adikku sayang,
Kan tiba saatnya sepatu merah muda itu kan menjadi milikmu,
Kan selalu menemani setiap langkah mu,
Sabarlah duhai adikku,
Aku kan berusaha mendapatkan sepatu merah muda,
Untuk dirimu...
Kan tiba saatnya sepatu merah muda itu kan menjadi milikmu,
Kan selalu menemani setiap langkah mu,
Sabarlah duhai adikku,
Aku kan berusaha mendapatkan sepatu merah muda,
Untuk dirimu...
Aku mengakhiri puisi sambil
tersenyum, senyum kebahagiaan. Aku tak mampu membayangkan jika semua usaha yang
nantinya akan ku lakukan demi Anggi berjalan dengan sukses. Betapa bahagianya
aku jika berhasil membelikannya sepatu merah muda. Ia begitu menyukai warna
merah mudah, dan ia pernah bercita-cita membuka sebuah pabrik sepatu merah muda
agar semua orang memiliki sepatu berwarna merah muda. Selama ini ia hanya punya
2 pasang sepatu, 1 berwarna hitam hendak berubah warna jadi kelabu, dan satunya
lagi sepatu bekasku bersekolah di SMP dulu. Yang menyedihkannya, semuanya
memang tak layak pakai lagi.
Pagi ini aku berangkat ke sekolah lebih cepat dari
biasanya. Karena aku harus membawa semua barang-barang daur ulang itu bersama
Deva yang sudah menunggu di depan rumahku. Aku memperlihatkan puisi yang ku
buat semalam kepada Deva. Ia manggut-manggut takjub. “Bagus banget Put”, puji
Deva padaku. Aku tersenyum “Siapa dulu dong, Putri”, kataku dengan bangga. Aku
dan Deva pun tertawa bersama.
“Teman-teman semua, ayo dilihat-lihat. Murah, meriah,
Memuaskan”, teriak Deva didalam kelas saat jam istirahat. Teman-teman ku
berkumpul mengelilingi ku, “Wah, yang ini cantik ya”, “Yang ini lucu”, mereka sibuk memilih-milih. “Put, beli
dua. Celengan ini dengan tempat pensil yang ini”, kata Lala salah satu temanku
sambil mengambil barang yang dipilihnya. “10 ribu”, kataku sambil tersenyum
begitu selembar uang sepuluh ribuan itu sampai ke tanganku. “Aku beli 3”, “Aku
beli 1”, “Aku beli 2”, teriak teman-temanku berebutan, aku dan Deva sampai
kewalahan menghadapi mereka. Jualanku laris manis, bahkan beberapa dari mereka
ada yang memesan kepadaku dengan corak dan warna yang mereka inginkan. Aku
mencatat pesanan mereka, dalam catatan kecilku.
Sepulang
sekolah kami berjalan menuju markas, yaitu sebuah rumah pohon yang kami buat
saat SMP dulu. “Sepuluh, lima belas, dua puluh, hmmm.. jumlahnya enam puluh
tujuh ribu”, kataku setelah menghitung jumlah uang yang ku dapat hari ini.
“Wah, banyak juga ya. Kalau begini pasti kita bisa membuat pesta kecil-kecilan
untuk ulang tahun Anggi”, ujar Deva dengan wajah yang puas. “Nih buat kamu”,
kataku menyerahkan uang dua puluh ribu kepada Deva. “Loh? Apa-apaan sih kamu.
Gak usah, ini kan uang kita cari sama-sama buat Anggi”, tolak Deva dengan
halus. “Tapi..”, “Eh, ke rumahku yuk. Kamu harus mendaftar pada perlombaan
puisi. Tapi, untuk pendaftarannya sih butuh uang”, Deva mengalihkan
pembicaraan. “Berapa?”, tanyaku kemudian. “Hmm, 10 ribu rupiah”, ucapnya sambil
manggut-manggut. “Yaudah, tunggu apalagi? Yuk, pergi”, aku meloncat turun dari
pohon. “Assalamualaikum Pak”, sapaku pada Pak Wawan, ayah Deva. “Walaikumsalam,
ada Putri rupanya. Masuk Put”, kata Pak Wawan ramah. “Pa, pinjem laptop ya”,
kata Deva diruangan kerja papanya. “Iya, hati-hati Dev. Banyak berkas-berkas
dokumen papa didalamnya”, kata Pak Wawan setelah selesai meneguk teh panasnya.
“Oke, pa”, jawab Deva mengacungkan jempolnya. Deva memainkan jarinya pada
sebuah benda yang bernama Laptop. Setelah menemukan artikel yang menuliskan
mengenai lomba cipta puisi Deva pun membacakannya untukku.
“Lomba
cipta puisi, tema bebas. Kirim puisinya ke Lomba-CiptaPuisi@yahoo.com trus transfer uang pendaftaran
sebesar 10ribu-per puisi. Batas pengiriman akhir jum’at, pengumuman sabtu.
Juara 1 akan mendapat uang sebesar 1.000.000 rupiah, juara 2 akan mendapat uang
sebesar 800.000 rupiah, dan juara 3 akan mendapat uang sebesar 600.000
rupiah.”,
Selesai
ia membacakannya Deva pun menatapku. Aku terdiam sesaat. “Tunggu, transfer?
Maksudnya?”, tanyaku pada Deva. “Ups, aku lupa ngejelasinnya. Jadi uang sepuluh
ribu kamu, aku kasih ke papa. Biar papa yang transfer uangnya”, jelas Deva padaku.
Walaupun aku tak begitu mengerti maksudnya, aku mengangguk-angguk saja. Deva
memintaku untuk membaca puisi yang telah ku buat. Sementara ia mengetiknya
dengan menggunakan laptop, setelah 5 menit. Deva segera mengirim puisi ku, aku
sama sekali tak mengerti apa yang ia lakukan. Yang jelas ia begitu serius
dengan laptopnya. “Berhasil! Tinggal transfer uangnya aja”, ujar Deva dengan
wajah yang begitu senang. “Lusa kita liat pengumumannya”. Kemudian kami saling
mengacungkan jempol “Kita pasti bisaaaaaa”, teriak kami bersamaan.
Sabtu
siang aku dan Deva segera berlari menuju rumahnya. Kami ingin melihat
pengumuman pemenang Lomba Cipta Puisi yang akan diumumkan pukul 12:30. Di depan
laptop Pak Wawan, aku dan Deva saling diam. Seakan segan untuk membuka laptop
tersebut. Aku begitu gugup, begitu pun Deva wajahnya begitu penasaran.
“Pengumuman perlombaan Cipta Puisi: 1. Kartika Meryana (Judul Puisi: Tangisan Dunia), 2. Putri Andhana (Judul Puisi: Sepasang Sepatu Merah Jambu), 3. Rizky Amerulia (Judul Puisi:Gadis Kecil Disudut Kota). Selamat kepada para pemenang, jangan lupa untuk terus berkarya!”,
Aku mencengkram bahu
Deva. Aku tak percaya, namaku ada disana! aku mengucek-ngucek mataku. Untuk
memastikan aku tidak bermimpi. “Dev, kamu yakin ini pengumumannya?
“, tanyaku yang masih menganggap aku hanya melihat bayangan namaku disana. “Iya,
Ini memang pengumumannya. Dan kamu berhasil MENANG! MENAAAAANNGGG”, teriaknya
begitu bahagia. Aku dan Deva bersepeda menuju rumah ku. Kami ingin menghitung
jumlah uang dari hasil penjualan ku selama 5 hari. Aku berencana menyembunyikan
kabar berita ini, aku ingin memberi kejutan untuk Anggi. Tanganku menggenggam
erat sebuah kaleng bekas cat minyak yang berisi sejumlah uang yang berhasil ku
dapatkan dengan bantuan Deva tentunya. “Seratus, seratus lima puluh,jumlahnya
dua ratus tiga puluh tujuh ribu”, kataku selesai menghitung uang didalam
kaleng. “Delapan ratus ditambah dua ratus tiga puluh tujuh ribu sama dengan
satu juta tiga puluh tujuh ribu!”, Teriak Deva tak percaya, ia
mengguncang-guncang bahuku. Aku menganga menatap uang ribuan yang berhamburan
di atas karpet kecil, aku tak pernah melihat bahkan mendengar jumlah uang
sebanyak itu. Bapak mungkin butuh beberapa bulan untuk menghasilkan uang
sebanyak itu. Deva berjanji padaku, besok pagi akan pergi bersama ku ke pantai
dan ke pasar. Sekalian mengantar uang hadiah Lomba Cipta Puisi yang berhasil ku
menangkan. Aku dan deva mengacungkan jempol bersamaan dan segera pulang ke
rumah masing-masing.
Minggu pagi yang cerah. Hari ini Anggi ulang tahun, namun
aku sengaja berpura-pura tak mengingatnya. Pagi ini, aku segera bersiap-siap
berangkat bersama Deva ke pantai mengikuti pertunjukkan bakat musik. Beberapa
menit kemudian Deva datang ke rumahku dengan wajah lesu. “Put, acara
pertunjukkannya dibatalin”, Deva duduk disebelahku sambil memangku tangannya.
“Yaudah, kita pergi langsung aja ke pasar. Sekalian aku mau belanja beberapa
bahan untuk pesta ulang tahun Anggi nanti sore”, jelasku sambil menampakkan
list belanja pada Deva. Deva, tertawa pelan. Terus aku bersepeda menuju pasar,
di pasar aku mencari sebuah toko sepatu. Dan aku berhasil menemukannya, “Ada
yang bisa saya bantu?”, tanya seorang pria paruh baya, begitu aku memasuki
tokonya. “Saya mau beli sepatu merah jambu”, jawabku dengan pandangan yang tak
lepas dari lemari kaca nan besar yang berisikan begitu banyakknya sepatu.
“Untuk siapa?”, tanya pria itu lagi. “Adik perempuan saya kelas 4 SD”, jawabku
lagi. Kemudian pria itu menghilang beberapa menit dan kembali dengan membawa 3
kotak yang berisikan sepatu pink dengan berbagai macam jenis. aku dan Deva
saling melirik, terus kami mengangguk mantap “Kotak yang kedua pak”, pilih kami
serempak. Sepatu merah jambu itu begitu manis, dihiasi pita dan bunga, benar-benar
pas untuk Anggi. Kemudian aku juga membeli 2 kaos kaki berwarna pink, satu
bergambar buah Stroberi, satunya bergambar mawar. “Semuanya seratus dua puluh
ribu rupiah”, selesai membayar sepatu dan kaos kaki untuk Anggi, aku dan Deva
mencari sebuah toko kue. Aku memilih kue yang ukuran sedang dan harga yang
murah, karena Ibu dan Bapak tak suka memakan kue bolu, atau sejenisya. Sepulang
dari toko kue, aku mentraktir Deva sebuah es krim. Kami menjilati es krim
sambil berjalan menuju rumah. Aku dan Deva telah merencanakan sebuah sandiwara
agar bisa membuat kejutan didalam rumah tanpa ketahuan siapapun. Aku menemukan
sebuah ide, dan membisikkannya ke telinga Deva. Deva mengangguk setuju. Begitu hampir
sampai dirumah, aku mencari Ibu. Saat menemukan Ibu yang sedang menyuci piring
aku menceritakan rencanaku dan Deva. Tak tahu nya Ibu dan Bapak juga sudah
punya rencana menyambut hari ulang tahun Anggi. Sejak tadi pagi Anggi pergi
dengan temannya mengerjakan tugas kerajinan tangan. Aku meminta untuk Deva
duduk di luar menanti pulangnya Anggi, sementara aku, Ibu dan Bapak membereskan
rumah. Ibu telah memasak beberapa masakan kesukaan yang terakhir kali aku dan
Anggi rasakan setahun yang lalu. Bapak memperbaiki tempat tidur kami agar
kasurnya tak langsung menyentuh lantai. Sementara aku menyiapkan kado dan kue
bolu yang ku beli bersama Deva tadi.
“Kak Deva, kok diluar? Ayo masuk kak”, Anggi baru saja
pulang membawa sebuah lukisan tangan. Deva mencubit pelan pipi Anggi, “Dari
tadi kan Kak Deva nungguin Anggi”, jawaban Deva membuat Anggi semakin bingung.
“Kok nungguin Anggi sih?”, tanya Anggi sambil menggaruk kepalanya yang sama
sekali tidak gatal. Aku diam-diam memeluk Anggi dari belakang sambil menutup
kedua matanya dengan tanganku. Ibu dan Bapak segera berdiri di hadapan Anggi.
Deva memberi kode, 1, 2, 3 aku membuka tanganku “Selamat Ulang Tahun
Anggiiiiii...”, teriak kami semua kecuali Anggi. Anggi memelukku erat, dan
mencium kedua pipiku. Kami membawa Anggi masuk ke dalam rumah, Anggi begitu
terkejut melihat rumahnya telat mendadak menjadi indah. Apalagi saat ia melihat
begitu banyak makanan di atas meja, ia berjingkrak-jingkrak kesenangan. Aku
menggenggam jemari Deva agar ia ikut duduk bersama kami. “Waaahh.. Ada kue
bolu”, kata Anggi yang duluan duduk di atas kursi, begitu tangannya hendak
mencomot kue bolu itu aku menarik tangannya. “Berdoa dulu dong”, kata Deva yang
membuat Ibu dan Bapak tertawa, sementara Anggi menunduk malu. selesai mencuci
tangan dan berdoa kami pun makan bersama. Suasana inilah yang selalu aku
inginkan. “Anggi punya lukisan, tadi Anggi lukis sendiri”, ia memperlihatkan
sebuah lukisan, ada Aku, Anggi, Ibu, Bapak, dan Deva, hanya saja Deva terletak
di paling ujung dan paling kecil. “Habis kertasnya udah enggak muat lagi Kak, Maaf
ya”, kata Anggi pada Deva dengan mencium pipi Deva. Namun, tiba-tiba Anggi
terdiam, ia menunduk dengan wajah yang sedih. Aku menatap Ibu, Bapak, dan Deva
bergantian. “Siapa yang bersedih hati enggak dapat kado”, kata Ibu yang segera
membuat aku mengangkat wajahnya. “Kado terus yang diingat”, Bapak ikut
menimpali. Anggi hanya tertawa kecil menampakkan gigi-gigi susunya. “Nih, kado
yang kakak beli sama Kak Deva”, kataku memberi sebuat bingkisan berwarna merah
muda pada Anggi. Anggi mengambil bingkisan dan segera membuka bingkisan itu
dengan cepat. Ia terbelalak begitu melihat sepasang sepatu merah jambu didalam
bingkisan itu. Ia memeluk erat sepatu itu. “Anggi punya sepatu baru, sepatu
baru...”, ia berlari keluar rumah tanpa alas kaki. Kedua tangannya masing-masing
memegang sebuah sepatu. Anggi berputar-butar seakan-akan sepasang sepatu itu
adalah sayapnya. “Anggi punya sepatu baru.....sepatu merah muda...akan Anggi
rawat sepatu ini.......supaya bisa bertahan lama”, ia bersenandung ria di
halaman rumahku. Ibu dan Bapak menangis, begitu pun Deva. Aku menghampiri
Anggi, ia segera memeluk diriku. “Kak, makasih banyak ya. Anggi sayang sama
kakak”, ia menatapku dengan mata beningnya. “Dipakai dulu dong sepatu baru
nya”, kataku sambil memakaikannya sepasang sepatu. Setelah itu ia menari-nari
dan memetik beberapa bunga di halaman. “Ini untuk Ibu, Ini untuk Bapak, Ini
untuk kakak, Ini untuk kak Deva”, Anggi memeluk kami erat. Air mata menetes
melewati pipiku, akhirnya usaha yang ku
lakukan membuahkan hasil.
Tunggulah
adikku sayang,
Kan tiba saatnya sepatu merah muda itu kan menjadi milikmu,
Kan selalu menemani setiap langkah mu,
Sabarlah duhai adikku,
Aku kan berusaha mendapatkan sepatu merah muda,
Untuk dirimu...
Kan tiba saatnya sepatu merah muda itu kan menjadi milikmu,
Kan selalu menemani setiap langkah mu,
Sabarlah duhai adikku,
Aku kan berusaha mendapatkan sepatu merah muda,
Untuk dirimu...
Biodata Singkat
Nama Lengkap: Puteri
Aliya Iskandar Hasibuan
Jenis Kelamin: Perempuan
Tempat Tanggal Lahir: Banda Aceh, 5 November 1996
Status: Pelajar
Nama Sekolah: SMAN Modal Bangsa Aceh
Judul cerita: Sepasang Sepatu Merah Jambu
No Hp: 081263295050
FB: Puteri Aliya Iskandar Hasibuan
Email: chi_puterii@yahoo.com
Blog: www.utiesworld.blogspot.com
Jenis Kelamin: Perempuan
Tempat Tanggal Lahir: Banda Aceh, 5 November 1996
Status: Pelajar
Nama Sekolah: SMAN Modal Bangsa Aceh
Judul cerita: Sepasang Sepatu Merah Jambu
No Hp: 081263295050
FB: Puteri Aliya Iskandar Hasibuan
Email: chi_puterii@yahoo.com
Blog: www.utiesworld.blogspot.com
1 komentar:
ceritanya indah ka makasih
agen viagra
pil biru
obat hammer
Posting Komentar