Selasa, 15 Mei 2012

Sepasang sepatu merah muda



“Kakak, cepetaaann. Udah mau azan zuhur Kak”, panggil Anggi, adik perempuanku dengan setengah berteriak. Aku mempercepat langkahku agar menyamai langkahnya. Biasanya aku dan Anggi pulang bersepeda, tapi hari ini sepeda kami dipakai bapak untuk berjualan sayur. Dengan berlari-lari kecil, akhirnya aku berhasil menyamai langkahnya. Ku lihat wajahnya begitu kusut, “Anggi kenapa? Capek ya? Yaudah sini kakak gendong”, kataku seraya mengangkat tubuhnya yang mungil. Anggi mengelak “Bukan kak, tapi..”, ia menghentikan langkahnya dan terdiam sejenak. “Allahuakbar..Allahuakbar”, Saat ia hendak berbicara terdengar suara azan berkumandang. Kami pun segera berlari pulang ke rumah agar tidak ketinggalan shalat berjamaah.
“Ibu, Bapak, seminggu lagi kan Anggi ulang tahun. Anggi boleh nggak minta sesuatu”, kata Anggi selesai shalat berjamaah. Orang tuaku tersenyum kecil, tampak raut khawatir di dalamnya. “Anggi mau minta apa sayang?”, tanya Ibuku sambil membelai rambut panjangnya. “Sepatu baru Bu, sepatu yang warnanya merah muda. Sekarang kan Anggi udah kelas 4”, jawab Anggi, lalu memandang sekilas sepatu lusuhnya di rak sepatu. “Sepatu?”, tanya Bapakku lagi. Anggi mengangguk. Setelah itu aku segera masuk ke dalam kamarku,  Aku duduk di atas ranjang buluk yang tebalnya sekitar 5cm. “Kakaaaaaaak..”, Anggi masuk tiba-tiba memelukku. Ia menangis, “Ibu dan Bapak bilang, Anggi dibeliin sepatu kalau udah masuk SMP kak. Kakak tau kan sepatu Anggi udah jelek terus rusak lagi. Anggi mau sepatu baru kak, yang warnanya merah muda...”, ujar Anggi di sela isak tangisnya. “Sssttt.. udah jangan nagis lagi. Anggi tidur aja ya, nanti matanya bengkak loh?”, kataku membelai rambutnya. Dalam beberapa menit, Anggi berhasil tidur dalam pangkuanku. Aku memandangnya dengan sedih, aku tahu orang tuaku memang tak cukup mampu untuk membeli sepatu baru untuk Anggi. Apalagi akhir-akhir ini, jualan sayur Bapak sedang menurun. Aku memutar otakku, apa yang bisa seorang anak SMA lakukan agar bisa membelikan adiknya sepatu baru.
             Keesokan harinya, aku menceritakan semuanya pada Deva sahabat karibku. Deva mendengar cerita ku dengan seksama.“Bagaimana kalau kita cari kerja sambilan?”, Kata Deva kemudian, begitu aku menyudahi ceritaku. “Kerja apaan Dev?”, tanyaku lagi, karena yang aku tahu mencari pekerjaan itu tidaklah mudah. “Kamu itu punya banyak bakat, kamu  bisa bermain musik, kamu bisa mendaur ulang bahan-bahan bekas menjadi kerajinan tangan yang indah, terus kamu juga bisa nulis kan?”, Deva menghentikan kalimatnya dan memandang ke arahku. Setelah aku mengangguk, ia menyambung kembali kalimatnya “Nah, itu dia. Semua bakat itu bisa digunakan untuk bekerja sambilan. Misalnya besok sampe Kamis kamu jual hasil daur ulang, Jum’at kan diadain lomba nulis puisi tuh, kamu ikut aja. Terus hari sabtu kita liat pengumuman lomba nulis puisi, minggu pagi kita pergi ke pantai katanya ada acara pertunjukkan bakat musik. Kamu yang nyanyi biar aku yang mainin gitar, kemudian hari sabtunya kita pergi ke pasar nyari sepatu buat Anggi dari hasil kerjamu selama seminggu itu. Gimana?”, jelas Deva panjang lebar. Namun ku akui, ia begitu hebat dalam beberapa menit ia telah membuat jadwal untukku selama seminggu. “Dev, kamu memang sahabat terbaikku”, aku memeluk Deva. Deva terkejut, namun ia membalas pelukanku. Deva, sahabat ku yang satu ini jauh lebih mampu dibandingku, tapi disekolah ia begitu sederhana dan sering membantu teman-temannya. Tak banyak yang tahu bahwa Deva adalah anak seorang bupati. “Kamu juga sahabat terbaikku”, ia mencubit pipiku pelan.
            Sepulang sekolah aku dan Deva segera mencari barang-barang bekas di tong sampah anorganik didalam kelas, agar tak ketahuan banyak orang. Begitu berhasil mendapatkan banyak barang seperti botol, kaleng dan kotak, kami berjalan menuju pantai  yang letaknya tak jauh dari sekolah, disana kami mengumpulkan banyak kerang, batu-batu pantai, pasir pantai, serta beberapa tanaman yang ada di pinggir pantai.

“Dev, makasih banyak ya. Aku gak tau harus gimana, agar bisa ngebalas kebaikan kamu”, kataku pada Deva begitu kami sampai dirumahnya yang mewah. 
“Sssttt.. kamu ini apa-apaan sih. Kita itu sahabat, tolong menolong itu udah jadi kewajiban. Lagian Anggi udah aku anggap kayak adik aku sendiri juga kok. Put, mampir kerumah ku yuk”,ajak Deva. 
“Kapan-kapan aja ya Dev, aku harus pulang. Aku kan belum izin sama Ibu dan Bapak”, jawabku tersenyum.
“Hmm.. Yaudah deh. Hati-hati di jalan ya”, kata Deva setelah mencium pipi kananku. Kemudian aku pun berlari menuju ke rumah. Ku letakkan semua barang-barang itu didalam kamar. “Sore ini aku harus bisa menyelesaikan daur ulang barang”, janjiku pada diri sendiri, begitu aku selesai makan siang. “Kak enggak tidur?”, tanya Anggi dengan wajah yang begitu mengantuk. Aku menggeleng “Siang ini kakak enggak tidur, Anggi tidur aja terus. Nanti sore kan harus pergi mengaji di surau”, kataku mengelus bahunya. Ketika Anggi tertidur, aku pun segera menyelesaikan janjiku. Aku membersihkan semua sampah botol,kaleng,dan kotak dan kemudian menyulap semuanya menjadi tempat pensil yang lucu, tempat tissue yang cantik, dan celengan yang unik. Aku berhasil membuat 8 celengan, 12 tempat pensil, dan 5 tempat tissue dengan berbagai corak dan warna. Aku menyimpan semua barang-barang tersebut dalam sebuah kardus yang nantinya akan ku bawa ke sekolah untuk dijual. Kemudian aku mendengar suara Ibu sedang berbicara dengan tetangga. “Besok malam, saya akan kemari mengambil kuenya. Ini uang mukanya, sisanya akan saya bayar besok malam. Terima kasih banyak Bu”, sepertinya itu suara Ibu Laila, tetanggaku yang sering mengadakan arisan dirumahnya. Ibu ku duduk di kursi goyang memegang uang dua puluh ribuan, aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Aku berbaring disebelah Anggi, dalam sesaat tanpa ku sadari aku terlelap sampai tiba waktu magrib. Matahari yang tadinya terang kini telah tenggelam bahkan hampir tak kelihatan. Aku segera bernajak, keluar dari kamarku. Ku lihat Ibu, Bapak, dan Anggi sedang melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Aku segera mengambil wudhu dan ikut shalat berjamaah. Seusai shalat aku memandang ke arah langit, begitu banyaknya bintang di malam ini. Ku bayangkan bintang-bintang itu membentuk wajah Anggi dengan sepatu barunya. Dengan segera aku mengambil pena dan selembar kertas, menuliskan sebuah puisi.


Sepatu..
Dimanakah kan ku cari sepatu merah muda itu?
Sepatu merah muda yang diinginkan dirimu,
Memiliknya seakan menjadikan mu orang yang paling bahagia,

Sepatu merah muda,
Sesuatu yang sangat berharga untuk mu,
Yang akan menjadi alas kaki mu,
Yang membuat mu bisa berlari tanpa takut kaki mu sakit,
Tanpa takut
jahitan sepatu mu kan terbuka,

Tunggulah adikku sayang,
Kan tiba saatnya sepatu merah muda itu kan menjadi milikmu,
Kan selalu menemani setiap langkah mu,
Sabarlah duhai adikku,
Aku kan berusaha mendapatkan sepatu merah muda,
Untuk dirimu...


Aku mengakhiri puisi sambil tersenyum, senyum kebahagiaan. Aku tak mampu membayangkan jika semua usaha yang nantinya akan ku lakukan demi Anggi berjalan dengan sukses. Betapa bahagianya aku jika berhasil membelikannya sepatu merah muda. Ia begitu menyukai warna merah mudah, dan ia pernah bercita-cita membuka sebuah pabrik sepatu merah muda agar semua orang memiliki sepatu berwarna merah muda. Selama ini ia hanya punya 2 pasang sepatu, 1 berwarna hitam hendak berubah warna jadi kelabu, dan satunya lagi sepatu bekasku bersekolah di SMP dulu. Yang menyedihkannya, semuanya memang tak layak pakai lagi.
            Pagi ini aku berangkat ke sekolah lebih cepat dari biasanya. Karena aku harus membawa semua barang-barang daur ulang itu bersama Deva yang sudah menunggu di depan rumahku. Aku memperlihatkan puisi yang ku buat semalam kepada Deva. Ia manggut-manggut takjub. “Bagus banget Put”, puji Deva padaku. Aku tersenyum “Siapa dulu dong, Putri”, kataku dengan bangga. Aku dan Deva pun tertawa bersama.
            “Teman-teman semua, ayo dilihat-lihat. Murah, meriah, Memuaskan”, teriak Deva didalam kelas saat jam istirahat. Teman-teman ku berkumpul mengelilingi ku, “Wah, yang ini cantik ya”, “Yang ini  lucu”, mereka sibuk memilih-milih. “Put, beli dua. Celengan ini dengan tempat pensil yang ini”, kata Lala salah satu temanku sambil mengambil barang yang dipilihnya. “10 ribu”, kataku sambil tersenyum begitu selembar uang sepuluh ribuan itu sampai ke tanganku. “Aku beli 3”, “Aku beli 1”, “Aku beli 2”, teriak teman-temanku berebutan, aku dan Deva sampai kewalahan menghadapi mereka. Jualanku laris manis, bahkan beberapa dari mereka ada yang memesan kepadaku dengan corak dan warna yang mereka inginkan. Aku mencatat pesanan mereka, dalam catatan kecilku.
Sepulang sekolah kami berjalan menuju markas, yaitu sebuah rumah pohon yang kami buat saat SMP dulu. “Sepuluh, lima belas, dua puluh, hmmm.. jumlahnya enam puluh tujuh ribu”, kataku setelah menghitung jumlah uang yang ku dapat hari ini. “Wah, banyak juga ya. Kalau begini pasti kita bisa membuat pesta kecil-kecilan untuk ulang tahun Anggi”, ujar Deva dengan wajah yang puas. “Nih buat kamu”, kataku menyerahkan uang dua puluh ribu kepada Deva. “Loh? Apa-apaan sih kamu. Gak usah, ini kan uang kita cari sama-sama buat Anggi”, tolak Deva dengan halus. “Tapi..”, “Eh, ke rumahku yuk. Kamu harus mendaftar pada perlombaan puisi. Tapi, untuk pendaftarannya sih butuh uang”, Deva mengalihkan pembicaraan. “Berapa?”, tanyaku kemudian. “Hmm, 10 ribu rupiah”, ucapnya sambil manggut-manggut. “Yaudah, tunggu apalagi? Yuk, pergi”, aku meloncat turun dari pohon. “Assalamualaikum Pak”, sapaku pada Pak Wawan, ayah Deva. “Walaikumsalam, ada Putri rupanya. Masuk Put”, kata Pak Wawan ramah. “Pa, pinjem laptop ya”, kata Deva diruangan kerja papanya. “Iya, hati-hati Dev. Banyak berkas-berkas dokumen papa didalamnya”, kata Pak Wawan setelah selesai meneguk teh panasnya. “Oke, pa”, jawab Deva mengacungkan jempolnya. Deva memainkan jarinya pada sebuah benda yang bernama Laptop. Setelah menemukan artikel yang menuliskan mengenai lomba cipta puisi Deva pun membacakannya untukku.


 “Lomba cipta puisi, tema bebas. Kirim puisinya ke Lomba-CiptaPuisi@yahoo.com trus transfer uang pendaftaran sebesar 10ribu-per puisi. Batas pengiriman akhir jum’at, pengumuman sabtu. Juara 1 akan mendapat uang sebesar 1.000.000 rupiah, juara 2 akan mendapat uang sebesar 800.000 rupiah, dan juara 3 akan mendapat uang sebesar 600.000 rupiah.”,

Selesai ia membacakannya Deva pun menatapku. Aku terdiam sesaat. “Tunggu, transfer? Maksudnya?”, tanyaku pada Deva. “Ups, aku lupa ngejelasinnya. Jadi uang sepuluh ribu kamu, aku kasih ke papa. Biar papa yang transfer uangnya”, jelas Deva padaku. Walaupun aku tak begitu mengerti maksudnya, aku mengangguk-angguk saja. Deva memintaku untuk membaca puisi yang telah ku buat. Sementara ia mengetiknya dengan menggunakan laptop, setelah 5 menit. Deva segera mengirim puisi ku, aku sama sekali tak mengerti apa yang ia lakukan. Yang jelas ia begitu serius dengan laptopnya. “Berhasil! Tinggal transfer uangnya aja”, ujar Deva dengan wajah yang begitu senang. “Lusa kita liat pengumumannya”. Kemudian kami saling mengacungkan jempol “Kita pasti bisaaaaaa”, teriak kami bersamaan.
Sabtu siang aku dan Deva segera berlari menuju rumahnya. Kami ingin melihat pengumuman pemenang Lomba Cipta Puisi yang akan diumumkan pukul 12:30. Di depan laptop Pak Wawan, aku dan Deva saling diam. Seakan segan untuk membuka laptop tersebut. Aku begitu gugup, begitu pun Deva wajahnya begitu penasaran.

Pengumuman perlombaan Cipta Puisi: 1. Kartika Meryana (Judul Puisi: Tangisan Dunia), 2. Putri Andhana (Judul Puisi: Sepasang Sepatu Merah Jambu), 3. Rizky Amerulia (Judul Puisi:Gadis Kecil Disudut Kota). Selamat kepada para pemenang, jangan lupa untuk terus berkarya!”,

Aku mencengkram bahu Deva. Aku tak percaya, namaku ada disana! aku mengucek-ngucek mataku. Untuk memastikan aku tidak bermimpi. “Dev, kamu yakin ini pengumumannya?

“, tanyaku yang masih menganggap aku hanya melihat bayangan namaku disana. “Iya, Ini memang pengumumannya. Dan kamu berhasil MENANG! MENAAAAANNGGG”, teriaknya begitu bahagia. Aku dan Deva bersepeda menuju rumah ku. Kami ingin menghitung jumlah uang dari hasil penjualan ku selama 5 hari. Aku berencana menyembunyikan kabar berita ini, aku ingin memberi kejutan untuk Anggi. Tanganku menggenggam erat sebuah kaleng bekas cat minyak yang berisi sejumlah uang yang berhasil ku dapatkan dengan bantuan Deva tentunya. “Seratus, seratus lima puluh,jumlahnya dua ratus tiga puluh tujuh ribu”, kataku selesai menghitung uang didalam kaleng. “Delapan ratus ditambah dua ratus tiga puluh tujuh ribu sama dengan satu juta tiga puluh tujuh ribu!”, Teriak Deva tak percaya, ia mengguncang-guncang bahuku. Aku menganga menatap uang ribuan yang berhamburan di atas karpet kecil, aku tak pernah melihat bahkan mendengar jumlah uang sebanyak itu. Bapak mungkin butuh beberapa bulan untuk menghasilkan uang sebanyak itu. Deva berjanji padaku, besok pagi akan pergi bersama ku ke pantai dan ke pasar. Sekalian mengantar uang hadiah Lomba Cipta Puisi yang berhasil ku menangkan. Aku dan deva mengacungkan jempol bersamaan dan segera pulang ke rumah masing-masing.

            Minggu pagi yang cerah. Hari ini Anggi ulang tahun, namun aku sengaja berpura-pura tak mengingatnya. Pagi ini, aku segera bersiap-siap berangkat bersama Deva ke pantai mengikuti pertunjukkan bakat musik. Beberapa menit kemudian Deva datang ke rumahku dengan wajah lesu. “Put, acara pertunjukkannya dibatalin”, Deva duduk disebelahku sambil memangku tangannya. “Yaudah, kita pergi langsung aja ke pasar. Sekalian aku mau belanja beberapa bahan untuk pesta ulang tahun Anggi nanti sore”, jelasku sambil menampakkan list belanja pada Deva. Deva, tertawa pelan. Terus aku bersepeda menuju pasar, di pasar aku mencari sebuah toko sepatu. Dan aku berhasil menemukannya, “Ada yang bisa saya bantu?”, tanya seorang pria paruh baya, begitu aku memasuki tokonya. “Saya mau beli sepatu merah jambu”, jawabku dengan pandangan yang tak lepas dari lemari kaca nan besar yang berisikan begitu banyakknya sepatu. “Untuk siapa?”, tanya pria itu lagi. “Adik perempuan saya kelas 4 SD”, jawabku lagi. Kemudian pria itu menghilang beberapa menit dan kembali dengan membawa 3 kotak yang berisikan sepatu pink dengan berbagai macam jenis. aku dan Deva saling melirik, terus kami mengangguk mantap “Kotak yang kedua pak”, pilih kami serempak. Sepatu merah jambu itu begitu manis, dihiasi pita dan bunga, benar-benar pas untuk Anggi. Kemudian aku juga membeli 2 kaos kaki berwarna pink, satu bergambar buah Stroberi, satunya bergambar mawar. “Semuanya seratus dua puluh ribu rupiah”, selesai membayar sepatu dan kaos kaki untuk Anggi, aku dan Deva mencari sebuah toko kue. Aku memilih kue yang ukuran sedang dan harga yang murah, karena Ibu dan Bapak tak suka memakan kue bolu, atau sejenisya. Sepulang dari toko kue, aku mentraktir Deva sebuah es krim. Kami menjilati es krim sambil berjalan menuju rumah. Aku dan Deva telah merencanakan sebuah sandiwara agar bisa membuat kejutan didalam rumah tanpa ketahuan siapapun. Aku menemukan sebuah ide, dan membisikkannya ke telinga Deva. Deva mengangguk setuju. Begitu hampir sampai dirumah, aku mencari Ibu. Saat menemukan Ibu yang sedang menyuci piring aku menceritakan rencanaku dan Deva. Tak tahu nya Ibu dan Bapak juga sudah punya rencana menyambut hari ulang tahun Anggi. Sejak tadi pagi Anggi pergi dengan temannya mengerjakan tugas kerajinan tangan. Aku meminta untuk Deva duduk di luar menanti pulangnya Anggi, sementara aku, Ibu dan Bapak membereskan rumah. Ibu telah memasak beberapa masakan kesukaan yang terakhir kali aku dan Anggi rasakan setahun yang lalu. Bapak memperbaiki tempat tidur kami agar kasurnya tak langsung menyentuh lantai. Sementara aku menyiapkan kado dan kue bolu yang ku beli bersama Deva tadi.
            “Kak Deva, kok diluar? Ayo masuk kak”, Anggi baru saja pulang membawa sebuah lukisan tangan. Deva mencubit pelan pipi Anggi, “Dari tadi kan Kak Deva nungguin Anggi”, jawaban Deva membuat Anggi semakin bingung. “Kok nungguin Anggi sih?”, tanya Anggi sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Aku diam-diam memeluk Anggi dari belakang sambil menutup kedua matanya dengan tanganku. Ibu dan Bapak segera berdiri di hadapan Anggi. Deva memberi kode, 1, 2, 3 aku membuka tanganku “Selamat Ulang Tahun Anggiiiiii...”, teriak kami semua kecuali Anggi. Anggi memelukku erat, dan mencium kedua pipiku. Kami membawa Anggi masuk ke dalam rumah, Anggi begitu terkejut melihat rumahnya telat mendadak menjadi indah. Apalagi saat ia melihat begitu banyak makanan di atas meja, ia berjingkrak-jingkrak kesenangan. Aku menggenggam jemari Deva agar ia ikut duduk bersama kami. “Waaahh.. Ada kue bolu”, kata Anggi yang duluan duduk di atas kursi, begitu tangannya hendak mencomot kue bolu itu aku menarik tangannya. “Berdoa dulu dong”, kata Deva yang membuat Ibu dan Bapak tertawa, sementara Anggi menunduk malu. selesai mencuci tangan dan berdoa kami pun makan bersama. Suasana inilah yang selalu aku inginkan. “Anggi punya lukisan, tadi Anggi lukis sendiri”, ia memperlihatkan sebuah lukisan, ada Aku, Anggi, Ibu, Bapak, dan Deva, hanya saja Deva terletak di paling ujung dan paling kecil. “Habis kertasnya udah enggak muat lagi Kak, Maaf ya”, kata Anggi pada Deva dengan mencium pipi Deva. Namun, tiba-tiba Anggi terdiam, ia menunduk dengan wajah yang sedih. Aku menatap Ibu, Bapak, dan Deva bergantian. “Siapa yang bersedih hati enggak dapat kado”, kata Ibu yang segera membuat aku mengangkat wajahnya. “Kado terus yang diingat”, Bapak ikut menimpali. Anggi hanya tertawa kecil menampakkan gigi-gigi susunya. “Nih, kado yang kakak beli sama Kak Deva”, kataku memberi sebuat bingkisan berwarna merah muda pada Anggi. Anggi mengambil bingkisan dan segera membuka bingkisan itu dengan cepat. Ia terbelalak begitu melihat sepasang sepatu merah jambu didalam bingkisan itu. Ia memeluk erat sepatu itu. “Anggi punya sepatu baru, sepatu baru...”, ia berlari keluar rumah tanpa alas kaki. Kedua tangannya masing-masing memegang sebuah sepatu. Anggi berputar-butar seakan-akan sepasang sepatu itu adalah sayapnya. “Anggi punya sepatu baru.....sepatu merah muda...akan Anggi rawat sepatu ini.......supaya bisa bertahan lama”, ia bersenandung ria di halaman rumahku. Ibu dan Bapak menangis, begitu pun Deva. Aku menghampiri Anggi, ia segera memeluk diriku. “Kak, makasih banyak ya. Anggi sayang sama kakak”, ia menatapku dengan mata beningnya. “Dipakai dulu dong sepatu baru nya”, kataku sambil memakaikannya sepasang sepatu. Setelah itu ia menari-nari dan memetik beberapa bunga di halaman. “Ini untuk Ibu, Ini untuk Bapak, Ini untuk kakak, Ini untuk kak Deva”, Anggi memeluk kami erat. Air mata menetes melewati pipiku,  akhirnya usaha yang ku lakukan membuahkan hasil.

Tunggulah adikku sayang,
Kan tiba saatnya sepatu merah muda itu kan menjadi milikmu,
Kan selalu menemani setiap langkah mu,
Sabarlah duhai adikku,
Aku kan berusaha mendapatkan sepatu merah muda,
Untuk dirimu...




Biodata Singkat
Nama Lengkap: Puteri Aliya Iskandar Hasibuan
Jenis Kelamin: Perempuan
Tempat Tanggal Lahir: Banda Aceh, 5 November 1996
Status: Pelajar
Nama Sekolah: SMAN Modal Bangsa Aceh
Judul cerita: Sepasang Sepatu Merah Jambu
No Hp: 081263295050
FB: Puteri Aliya Iskandar Hasibuan
Email:
chi_puterii@yahoo.com
Blog:
www.utiesworld.blogspot.com

1 komentar:

obat herbal
31 Januari 2019 pukul 20.00

ceritanya indah ka makasih
agen viagra
pil biru
obat hammer

Posting Komentar